![]() |
www.pixabay.com |
Ruang ini sunyi, tak
ada suara sama sekali. Gelap dan senyap. Tak kudengar suaramu lagi. Kau di
mana? Kususuri lorong ini, lorong yang berubah menjadi sebuah labirin. Biasanya
kita suka bermain di sini. Menyelesaikan puzzle labirin, hingga akhirnya kita
tertawa bersama saat bertemu di pintu keluarnya. Kakiku melangkah perlahan, tak
kutemukan dirimu, pun jalan keluar. Aku tersesat, untuk pertama kalinya labirin
ini berubah menjadi sebuah lorong seperti lorong menuju kematian.
Hari berubah gelap. Bukan,
bukan hari yang akan berubah senja. Mendung bergulung di langit sana. Biasanya kau
akan bercerita tentang hujan yang kaurindu. Tentang hujan yang kautunggu? Lalu di
manakah dirimu? Kembali kususuri labirin ini. Rumput tinggi menjulang di
kanan-kiriku. Yang kutemui hanya lah lorong-lorong buntu.
Mendung bergelung
menjadi tetesan airmata langit yang membasahi tubuhku. Biasanya kita akan
menari-nari di bawah rinai hujan itu, tetapi kini aku menggigil sendiri,
tanpamu. Aku hanya bisa meringkuk di salah satu sudut labirin. Menatap langit,
menantang hujan yang terasa perih menghujam wajahku. Sesekali kilat dan guruh
menggema, seperti kilatan blitz yang mengabadikan keterpurukanku.
Aku terhuyung, kudekap
kedua tanganku di dada, kakiku melangkah perlahan di bawah hujan yang kini
tinggal rintiknya. Aku harus menemukan jalan keluar, dan berharap kamu ada di
sana menantiku. Sepertinya ada sebuah kekuatan yang menuntunku di atas
kelimbunganku. Jalan keluar…ya…jalan keluar, aku menuju itu.
Kakiku nyaris beku,
jika tidak kulihat satu jalan terang di ujung sana yang akan membawaku keluar
dari labirin ini. Kuseret kakiku perlahan, mataku terpejam. Namun aku yakin,
jika aku akan sampai ujung jalan itu. Semoga kaumenungguku di sana, harapku.
Tubuhku nyaris
ambruk, dalam penglihatan samarku, aku melihat ikan-ikan kecil yang menari-nari
di sekitar tubuhku, mengangkatku ke atas sebuah bus berwarna merah. Beliau di
atas Bus melayang-layang menatapku, beku. Aku tak ingat apa-apa lagi ketika
mataku terbuka dan menemukanmu yang terduduk di sebuah ruang sunyi, gelap dan
kau diam tidak bersuara.
Kupanggil namamu, tetapi
kaubergeming. Kulangkahkan kakiku mendekatmu. Kubisikkan lagi namamu. Aku ingin
bercerita tentang pengalamanku di labirin hari ini. Aku ingin menceritakan
keherananku kenapa aku tidak bisa menemukan jalan keluar kali ini. Kuhela nafas
dalam-dalam. Kupandang tubuhmu yang tetap bergeming. Tubuhku terlonjak, aku
terhenyak. Ada apa denganmu?
Airmataku luruh
perlahan. Ada apa denganmu? mengapa kau sampai seperti ini. Aku nyaris tak
sanggup menatapmu. Bibirmu? Mengapa kaujahit bibirmu? Telingamu? Mengapa kausumpal
telingamu? Mengapa?
Kupeluk tubuhmu
erat. Kubisikkan kata-kata bahwa aku masih dan akan tetap di sini untukmu. Tak akan
kuindahkan lagi kata-katamu jika kau berkata padaku,”biarkan aku sendiri kali
ini. Sungguh aku ingin sendiri bahkan tanpa dirimu,” seperti yang kauucapkan
beberapa waktu lalu. Tak akan lagi.
Masih kupeluk dirimu
dengan tangisku. Tetapi kau tetap membeku. Maafkan aku tak menemanimu di saat
hari-hari terberat itu. (Tamat)
Saya suka dengan penggambaran tokoh "aku" dalam labirin. Sendiri, menderita, tak berdaya, dan tersiram hujan sampai hampir ambruk.
ReplyDeleteTapi ending cerita, tokoh "aku" mendapati kekasihnya sudah membeku dalam kematian.
Cerita ini menjadi sedih, dan mengecewakan.
Tapi labirin pasti menjadi suatu simbol, dan hanya penulisnya yang paham, mengapa labirin. Apa filosofi labirin? Hubungan yg rumit kah, atau gaya romansa yang tak biasa.