www.mikkomarshal.wordpress.com |
“Ma, kenapa rumah kita dikelilingi kabut?” suara gadis kecil
yang sedang berdiri menatap keluar dari balik jendela mencari jawaban. Aku
kemudian berdiri mendekat dibelakang gadis kecilku sambil menatap keluar dari
balik jendela.
“Iya, Ma. Tetapi mengapa hanya rumah kita saja Ma yang
dikelilingi kabut?” tanyanya masih dengan nada heran.
“Mungin dia hanya sebentar saja mengelilingi rumah kita,
nanti dia akan pudar dengan sendirinya,” ucapanku sambil mengusap kepala gadis
kecilku.
Setiap hari gadis kecilku menatap keluar dari balik jendela.
Menatap kabut yang selalu mengelilingi rumah kami. Hanya rumah kami saja. Dia
hampir melupakan maina-mainan yang selalu menemani setiap harinya.
“Ma, tahukah Mama? Kabut itu kadang begitu tebal, hingga aku
tidak bisa melihat rumah tetangga sekitar. Namun kadang begitu tipis, hingga
aku bisa melihat mentari menyinari rumah-rumah tentangga kita Ma. Sejak kabut
itu menyelubungi rumah kita, rasanya matahari pun enggan menyentuh rumah kita.”
Aku hanya bisa berdiri di samping gadis kecilku sambil
tersenyum. Bersama-sama menatap keluar jendela, menatap kabut tebal yang
menyelimuti rumah kita.
##
“Ma, Papa
kemana?” tanya gadis kecilku disuatu malam ketika kami beranjak ke pembaringan.
“Tentu papamu kerja,” jawab ku lirih. Kucoba menyembunyikan
raut luka seiring gadis kecilku menanyakan papanya.
“Kenapa Papa
lama sekali pulangnya Ma?” gadis kecil itu terus bertanya.
“Papamu sedang
banyak kerja. Nanti kalau sudah selesai akan pulang juga.”
Gadis kecil itu
kemudian meringkuk dalam pelukanku mencari kehangatan. Sebuah dongeng indah kulantunkan.
Dongeng tentang seorang mama yang akan mengambilkan bulan untuk anak gadisnya.
Gadis keilku terlelap dalam senyuman.
Aku hanya bisa
menatap haru gadis kecilku. Ketika perlahan aliran deras turun dari pipiku. Perlahan
kabutpun mulai ikut menebal diluar.
##
“Kabut, kenapa
kau hanya mengelilingi rumahku?”
“Karena rumahmu
penuh aura sendu?”
“Apa itu?”
“Oh, begini.
Cukup ajak mamamu untuk tersenyum setiap hari. Mungkin aku tak akan terlihat
lagi.”
Gadis kecilku
terdiam. Penjelasan dari kabut belum juga bisa dimengertinya. Dia ingat jika mamanya
selalu tersenyum untuknya, mengapa kabut ini berkata jika mamanya harus
tersenyum setiap hari agar kabut itu pergi?
“Kabut, kamu
pasti mengarang. Mamaku selalu tersenyum manis untukku juga untuk semua orang.”
Kabut hanya terdiam. Kabut tahu bahwa mama gadis kecil itu
selalu tersenyum. Bahkan kepada para tetangga yang selalu berbisik-bisik
membicarakan mama, membicarakan kabut yang menutupi rumah mereka.
“Bilang kepada
mamamu, cukup untuk menyunggingkan bibir yang tulus dari dalam hatinya.”
Gadis itu masih
diam tak mengerti. Kabut semakin menebal didepannya.
##
Telepon rumah berdering.
Gadis kecilku riang menerima. Tetapi riangnya memudar seketika, ketika dia
menatap keluar jendela. Kabut semakin pekat mengelilingi rumah. Gadis kecilku berlari
ke kamar mencariku.
Tubuhku memungunggi
pintu kamar. Terguncang oleh isakan yang tertahan. Gadis kecilku berlari
memelukku. Aku terlambat menyembunyikan tangisku dan lelehan airmata yang sudah
mengering.
Wajahnya menatapku
tak mengerti.”Kenapa mama menangis Ma?”wajah polosnya menatapku. Dipeluknya tubuhku
dengan tulus. Aku merasakan cintanya yang penuh kepadaku.
“Mama, papa
akan datang,” lirih gadis kecilku berucap sambil tangannya memelukku erat. Aku hanya
mengangguk. Kalimatnya yang memberitakan kedatangan papanya membuat dadaku
semakin sesak. Sekuat tenaga kutahan isakan yang akan segera runtuh.
Pintu terdengar
diketuk dari luar. Gadis kecilku segera berlari.
Jeritan gadis
kecil memanggil sosok yang baru datang, sosok yang akhirnya menggoreskan luka
yang menganga. Membuatku lupa tidur, lupa menikmati rasa. Lambung yang juga
ikut terluka. Satu prinsip dalam hidup yang tak bisa dilanggar, aku tidak bisa
dibohongi.
Namun bagiku
tak perlu mengungkit-ungkit apa yang telah kukorbankan demi mendampingi lelaki
itu. Sudah cukup bagiku, Tuhan begitu mencintaiku. Membuka semua penghianatan
lelaki itu, sebelum semuanya benar-benar menghancurkan hatiku.
##
“Ma, kemarin
aku berbincang dengan kabut. Aku bertanya, mengapa hanya rumah kita saja yang
dikelilingnya? Kabut berkata bahwa hanya perlu senyum Mama yang tulus dan kabut
akan pergi dengan sendirinya.”
Aku hanya
terdiam terpaku. Ketika luka-luka tiba beterbangan mengitariku. Luka yang belum
bisa dimengerti gadis kecilku.
“Ma, bukankah Mama
selalu tersenyum untukku? Bukankah Mama tersenyum tulus untukku, juga untuk
tetangga-tetangga yang sering memandangi rumah kita, membicarakan kabut yang
menyelimuti rumah kita?”
“Iya nak. Kabut adalah ciptaan Tuhan. Hatinya lebih jernih. Dia
bisa merasakan ketulusan setiap jiwa. Mungkin Mama hanya perlu belajar lebih
tulus. Sampaikan pada kabut, jika mama akan tersenyum dengan setulus jiwa
kepada siapa saja.”
“Baik Ma, nanti akan ku sampaikan,” wajahnya begitu riang.
Aku mematung dikamar. Memutuskan pilihan hidup
yang kini masih penuh kebimbangan. Tetap bersama lelaki itu dengan luka yang
semakin menganga demi gadis kecilku, atau kebahagiaanku sendiri namun gadis
kecilku yang akan kehilangan sosok lelaki itu? Namun satu langkah yang harus
kuputuskan, segera menghalau kabut yang menyelimuti rumahku. (end)
#Untukmu yang disana. Kuatlah. Halau kabut itu. Kamu bisa
menjalaninya dengan bahagia.
Kabut whaaaaa. sedih
ReplyDeleteIya, sedih
DeleteMasya Allah dalem Mbak Wid ...
ReplyDeleteHiks hiks
DeleteSukaa bund.. Perumpamaan yg jelas.
ReplyDeleteTerimakasih dik ci
DeleteKabut whaaaaa. sedih
ReplyDeleteAku juga sukaaaa... 😍😍😍 semoga mama bisa tersenyum lagi dengan bahagia...
ReplyDeleteTerimakasih mitha
DeleteAmiin
Ujiannya berat. 😓
ReplyDeleteIya...hiks hiks
DeleteIya...hiks hiks
DeleteSediiih ceritanya...
ReplyDelete��������. I was there.
ReplyDelete