“Pancene mbelgedes tenan kok mantumu kuwi Pak,” Bu Ratmi datang-datang ngomel. Mulutnya mengerucut. Wajahnya
tegang, auranya terasa berapi-api. Kedua tangannya mengepal, seolah-olah
bersiap meninju lawan bicaranya. Pak Danu yang sedang duduk membaca koran segera
menatap Bu Ratmi.
“Ada apa tho Bune, kok datang-datang
marah-marah.” Tanya Pak Danu sambil meletakkan korannya di atas meja dan
melipatnya begitu saja.
“Itu Pak, mantumu itu, memang mbelgedes tenan kok.” Napas Bu Ratmi kembang
kempis menahan amarah. Pak Danu semakin tidak mengerti. Sudah seminggu ini Bu
Ratmi nginap di tempat anak perempuannya yang tinggal di pusat kota. Katanya kangen
dengan cucunya.
“Sik-sik bune. Sini duduk sebentar. Sabar. Coba jelaskan sama
bapak. Ada apa dengan menantu kita yang katamu mbelgedes itu?” kata Pak Danu menenangkan amarah istrinya yang sudah nyaris
sampai ubun-ubun.
Masih dengan dada
kembang-kempis menahan amarah, Bu Ratmi menuruti kata suaminya. Dia duduk
perlahan di kursi rotan samping Pak Danu.
“Itu lho Pak,
mantumu itu kok cumannya bisa tidur saja. Dua hari aku nginap di rumah Yuli, aku jadi tahu kelakuan hari-harinya. Setiap
saat kerjaanya mbangkong saja. Mbok
ya jadi laki tu rajin sikit lah. Sudahlah pengangguran, nggak ada usahanya
sama sekali. Jadi kuli-kuli panggul di pasarpun kan ya jadi. Atau ikut Lik
Panjul jadi buruh bangunan. Ini nggak, mbangkong
saja kerjaanya. Sholatpun bolong-bolong.
Nggak seperti dulu waktu ngemis-ngemis ke sini mau minta Yuli.”
Pak Danu jadi
teringat dulu saat mantunya itu mencoba meraih hatinya. Datang dengan pakaian necis,
sholat tepat waktu, selalu mengajak berjamaah yang memang kebetulan masjid
kompleks tak jauh dari rumah Pak Danu. Katanya punya usaha patungan ternak lele
dengan seorang temannya. Meski Pak Danu sendiri belum pernah meliat lokasi
usaha mantunya itu.
“Ya sudahlah bu,
kita doakan saja mantu kita itu sadar. Jadi suami dan Bapak yang baik.”
“Rasanya aku nggak
terima Pak, anak kita digituin. Kemarin itu ya, beras sebijipun Yuli itu nggak
punya. Mau masak, ngutang di warung. Itu Si tole,
mau jajan aja Yuli nggak punya duit. Parahnya lagi, genteng rumah mereka bocor
lha kok di diemin saja. Rasanya pengin marah-marah sama mantumu itu Pak.
Tetapi kasihan sama Yuli.”
“Sabar Bune…sabar.
Mungkin mantu kita sudah berusaha nyari kerjaan, tapi belum dapat.”
“Alah Pak, jaman sekarang jadi tukang
ojek bisa. Apa tuh yang pesennya pakai henpon
tuh kan bisa Pak. Mantumu itu saja yang males. Kerjaan apa saja bisa, kalau dia
mau.”
Pak Danu diam saja
mendengar ocehan istrinya yang memang tidak salah. Semua bisa dilakukan asalkan
halal.
“Sudah baik itu si
Yuli nggak pernah ngadu sama kita
Pak. Dia nggak mau ngerepotin kita. Tapi mau sampai kapan mereka hidup seperti
itu.”
Dalam hati Pak Danu
membenarkan ucapan istrinya. Mau sampai kapan mereka idup seadanya? “Sepertinya
aku harus bertindak,” batin Pak Danu.
“Sudahlah Pak, aku mau
istirahat dulu. Kepalaku pusing mikirin
mantu mbelgedes seperti itu.” Pamit Bu Ratmi sambil beranjak
meninggalkan Pak Danu yang semakin terdiam.
Dari kejauhan Pak
Danu masih mendengar suara Bu Bu Ratmi nggedumel
,”Oalah mantu mbelgedes…mantu
mbelgedes.” (end)
Comments
Post a Comment