Badannya tersentak,
kemudian duduk terbangun. Linglung, tak tahu apa yang terjadi. Tangan kanannya
mengelus pipi yang basah. Matanya mengedar kesegala penjuru ruang, kemudian
tertuju pada atap kamar. Menggeleng perlahan. Dibaringkan tubuhnya yang penat. Mata
kemudian terpejam. Beberapa tumpukan buku berserak di samping bantal. Menemani malam
yang semakin sunyi dan melenakan.
***
Basah, mengapa semua
basah? Kasur tempat dia membaringkan tubuh penatnya, basah. Segera diraihnya
buku yang berserak di samping bantal. Tubuhnya beranjak keluar kamar, tetapi
lantai yang dipijaknya pun basah. Tubuhnya limbung, terpeleset. Bersyukur, tangan
kanannya sigap memegang gawang pintu. Namun matanya nyalang keheranan menatap
ruang tamu, basah. Setiap benda yang berada di ruangan itu seperti menitikkan
airmata. Lantai, dinding ruang tamu, lemari buku di mana buku-buku
kesayangannya terpajang rapi. “Oh tidak!” jeritnya. Dia segera menatap buku-buku
yang juga mulai basah. Tapi tunggu, buku itu seperti meneteskan air mata. Dikuceknya
mata perlahan, hanya ingin memastikan dengan apa yang dilihatnya.
“Tidaaaaaaaaaak, ada
apa ini? Mengapa semuanya mengeluarkan air? Mengalir dan kini semuanya basah,”
batinnya bertanya-tanya. Tangannya meraih satu buku kesayangan, ditatapnya
dengan penuh kesedihan. “Ada apa?” bibirnya berbisik. Dan dia semakin terkejut
ketika sampul buku itu tiba-tiba terkoyak, dan koyakannya menyerupai mulut. Kemudian
berkata lirih kepadanya.
Badannya menggigil
melihat buku kesayangannya berbicara. Diedarkannya pandangan keseluruh ruangan,
kini basah semakin merata. Kemudian kakinya melesat berlari keluar. Ditatapnya langit
yang terlihat berawan tipis, aroma
kesedihan menguar darinya. Ayam-ayam terdiam di dahan mangga, dia semakin
terkejut. Ayam-ayam menangis lirih, pohon-pohon, bunga-bunga di halamannya
menangis. Semua menangis, kini isaknya terdengar lirih di telinga.
Hatinya mulai sedih,
“Ada apa sebenarnya ini?”. Kembali dia masuk ke dalam rumahnya yang semakin basah.
Di raihnya lagi buku kesayangann, lirih dia mendengar kata-kata,”Kami semua
sedang bersedih, Ramadhan segera usai. Kami cinta dengan segala kemuliaanya. Ketika
kami bertasbih, Sang Pencipta melipatgandakan pahalanya. Nuansa Ramadhan yang begitu
menyejukkan jiwa. Kini, Ramadhan harus meninggalkan kita. Jadi bolehkah aku
bertanya padamu? Bagaimanakah perasaanmu ketika Ramadhan akan segera berlalu?”
Dia hanya tertegun
mendengar pertanyaan buku kesayangannya. Berkelebatlah memori hari-hari yang
telah berlalu dan dia habiskan dengan sia-sia. Tapi dia hanya terdiam membisu. Sedangkan, semua yang ada di sekitarnya kini semakin deras mengucurkan airmata. (end)
Comments
Post a Comment