Skip to main content

Sebuah Tulisan dari Judul Tulisan

www.pixabay.com

Pandangan mataku terganggu oleh sosokmu, bagiku kamu seorang sosok yang unik. Entahlah. Kamu yang hanya beralaskan sandal jepit tua. Aneh, di zaman era begini ketika orang-orang menomorsatukan penampilan, kamu melenggang enak dengan sandal jepit tua yang sudah menipis, di antara sandal-sandal kulit yang berdesakan di depan panggung. Siapakah kamu? Tanda tanya memenuhi benakku, saat aku menonton opera biawak yang di adakan oleh mahasiswa  teater Institut Seni Indonesia pada malam minggu di halaman balai gedung walikota. Atau mungkin kamu adalah salah satu anak ISI? Kepalaku menggeleng tak mengerti mengapa diri ini bertanya tanya. Kualihkan pandanganku ke atas panggung.  Buaya, harimau, gajah, anjing, hingga kecoa berperan apik di opera biawak kali ini. Mereka semua menampilkan peran yang luarbiasa.

Aku dan Edwin, salah satu teman dikala rawan, melangkah beriringan menuju halte di depan  gedung balai Walikota berharap masih ada angkot yang bisa membawa kami ke kostan. Setelah angkot berhenti dan kaki-kaki kami menginjak di jalanan kosong yang sepi, satu-satunya jalan masuk ke kostan kami. Kami sama-sama masih terdiam. Pukul 10.10 malam itu, Bulan pucat mengintip kami dari langit. Euforia yang terasa sebelum menonton opera ini seketika luruh. Sebuah renungan bagi bangsa. Inisiasi, citra, yang dibangun untuk sebuah tahta begitu mengenaskan. Ah sudahlah, aku tidak mau memikirkan hal itu. Edwin melambaikan tangan setelah aku membuka pintu kamar kost. Kamar kost Edwin berseberangan dengan kamar kostku, berbeda bangunan tetapi masih satu pemilik. Aku dan Edwin berteman sejak kami menjadi mahasiswa baru dan bertemu di kost an ini.

Siapa kamu? Sosok dengan alas kaki sandal jepit tua tiba-tiba menyeruak dan memenuhi isi pikiranku. Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, membersihkan diri kemudian meraih novel bersampul biru karya salah satu putri negeri ini. Aih, kenapa sosok tiggi dengan kaos oblong putih, rambut ikal sepanjang telinga dan sandal jepit tua tipis itu kembali menari-nari? Aku terduduk. Baiklah, terpaksa kutuliskan saja tentangmu. Agar beban pikiran ini bisa luruh. Mungkin aku bisa melupakanmu. Jemariku kemudian menari di atas keyboard. Kuabadikan sosokmu dalam lembaran putih, huruf-huruf berkejaran dengan kursor yang kini menjelma sebuah cerita tetangmu. Layar putih separuh penuh dengan rangkaian kata-kata, ketika tiba-tiba sosokmu mengingatkanku tentang dia, maka tulisan kali ini kuberi judul buat dia yang lupa.

Sabtu malam aku pergi dengan Edwin ke salah satu toko buku ternama di Jalan Sudirman. Mencari buku baru berjudul Balada lara yang sedang naik daun dan menjadi trending topik di setiap media. Menurut berita, penulisnya adalah seorang penulis pemula, tetapi karya yang dihasilkannya begitu luarbiasa. Balada Lara merupakan buku pertamanya yang diterbitkan media, tetapi sungguh luarbiasa tanggapan pembaca. Di depan pintu masuk toko buku, sebuah flyer dengan background nada ceria mengabarkan sebuah berita jumpa penulis buku Balada Lara, dan aku berjanji tidak akan melewatkannya.

Kuintip pagi yang masih basah dari balik jendela, gerimis yang mulai menipis. Jam yang melingkar di tangan kananku menunjukkan angka tigapuluh menit menuju delapan pagi. Kupandang langit, semburat bianglala terlukis di atas sana, sungguh indah. Secara spontan hatiku menamainya cemara bianglala, entah mengapa, mungkin karena bianglala menjulang tinggi seperti pohon cemara. Kulirik lagi Alba yang melingkar, limabelas menit menuju jam delapan. Memang acara pertemuan dengan penulis buku Balada Lara masih cukup lama, jam sembian pagi. Edwin pun msih belum terlihat batang hidungnya. Kuraih laptop untuk membunuh waktu. Kursor hanya berkedip-kedip di tempat yang sama tanpa menghasilkan kata-kata. Akuu memang sudah hiatus terlalu lama. Sudah puluhan kali aku membaca tulisan mengenai blockwriters, beberapa diantaranya berjudul Menyoal Writers Block, Mengatasi Kebuntuan dalam Mencari Ide Tulisan, tetapi tetap saja jemariku membeku.

Kutemui Edwin yang kini sudah berdiri di depan piintu kamar. Di sampingnya ada sosok baru yang tak kukenal. Seorang lelaki seusia Edwin, berkulit putih, hidungnya mancung, rambut hitam lebat dibelah tepi, tingginya sedikit lebih tinggi dariku, mungkin sekitar 165 cm. Kaos oblong warna hitam, celana jeans hitam di padu converse hitam, batinku mengatakan jika dia penyuka warna hitam. “Willy,” katanya mengulurkan tangan padaku. Aku tersenyum dan mengangguk, setelah menjabat tangan dan menyebutkan namaku,”Dini.”

“Dia teman dekat penulis itu Din,” kata Edwin berbisik di telingaku. Aku hanya mengangguk.
.
Toko buku di Jalan Sudirman sungguh ramai pagi itu. Aku, Edwin dan Wily segera mengambil tempat duduk. Tak lama kemudian acara dimulai, dan ketika pembawa acara memanggil nama penulis untuk naik ke panggung, jantungku berdebar begitu cepat. Lelaki itu, lelaki dengan sandal jepit tuanya adalah penulis buku Balada Lara. Sepanjang sesi obrolan, hatiku riuh berdetak. Kamu ternyata alumni ISI jurusan teater. Namun, tulisan-tulisanmu lebih menggema dibandingkan karya teatermu.

Aku menyimak dengan seksama. Tulisan-tulisanmu ternyata sudah banyak dimuat di media, ada  yang berjudul Pancasila dalam Reruntuhan, Superman Pakai Sarung, Rukoyah Ingin Pulang, Narcissus Kecebur Kolam dan beberapa cerpen lainnya yang segera akan dibukukan. Kamu juga bercerita jika memiliki hewan piaraan bernama Titi dan Laika, yang merupakan salah satu sumber inspirasimu.

Willy mengajak kami menemuimu setelah acara jumpa penulis usai. Dengan gemuruh dadaku yang semakin menyesakkan, kuberanikan diri memintamu untuk mengajariku menulis cerita.Aku sendiri heran darimana kekuatan itu datang, kekuatan untuk memintamu mengajariku menulis. “Datanglah setiap minggu di gedung serba guna sastra ISI, aku selalu di sana atau kamu bisa menghubugiku lewat email atau pesan WA.” Kata-katamu yang ramah dan manis membuat aku sedikit lega. Setidaknya kamu bukan penulis sombong seperti yang aku duga.

Aku semakin dekat denganmu. Setiap minggu menghabiskan waktu untuk belajar menulis dan membahas hal-hal seputar sastra. Terkadang kita lanjutkan percakapan lewat chatting di gawai. Hingga kusadari hatiku telah terpikat olehmu. Cinta? Entahlah. Tak hanya kamu yang memikat hatiku, tetapi aku juga tergila-gila dengan setiap karyamu. Namun, entah ini takdir atau apa. Kamu mempunyai rasa yang sama. Kamu buat pengakuan dengan memberiku sebuah tulisan tentang cinta. ”Itu perasaanku kepadamu, sesungguhnya.” Aku terpesona, kamu memang romantis.

Sehari setelah pengakuan, kamu kabari aku jika kamu demam. Hatiku menciut, khawatir dengan keadaanmu, tentu saja. Kamu berkata jika sudah minum segelas teh manis hangat dan akan beristirahat setelahnya.

Apakah kamu tahu? Jika aku telah terdampar di pulau kecil, yang kutahu penghuninya hanyalah kamu dan aku, dua manusia yang tak penting,
Apakah kamu tahu, jika aku ingin engkau menjadi pengantinku?
Dini, jadilah pengantinku!”

Sebuah pesan masuk digawaiku dan itu darimu. Senyumku terasa mengembang dan airmata menetes perlahan atas rasa yang membuncah. Bunga-bunga bermekaran di hatiku.

Indah, indah, indah, sungguh indah di mana-mana jika selalu bersamamu. Semoga kamu jadi pengantinku di wedding ceremony kita.”


Sebuah pesan masuk lagi di gawaiku, darimu. Apa yang bisa kulakukan selain menerimamu menjadi pendampingku? (tamat)

Comments

Popular posts from this blog

BELAJAR DARI LAGU SHAKIRA, TRY EVERYTHING

sumber:www.bbc.co.uk I mess up tonight, I lost another fight I still mess up, but I’ll just start again I keep falling down, I keep on hitting the ground I always get up now to see what the next I won’t give up, no I won’t give in Till I reach the end and then I’ll start again No I won’t leave, I wanna try everything I wanna try eventhough I could fail I won’t give up, no I won’t give in Till I Reach the end and then I’ll start again No I won’t leave, I wanna try everything I wanna try everything eventhough I could fail Potongan lirik lagu Shakira di atas sangat memotivas kita untuk tidak menyerah, mencoba sampai akhir. Kemudian mencoba lagi meski tahu mungkin akan gagal. Sudah berapa kali kamu kalah, berputus asa dan terpuruk, Kemudian merasa berat untuk bangkit lagi? Mungin bisa dengarkan lagu Shakira Try Everything dan memahami makna yang disampaikan dalam lagunya. Lagu ini merupakan soundtrack film Zootopia. Film yang juga keren dan sarat

Mengulas Cerpen Penguburan Kembali Sitaresmi

sumber:www.weknowyourdreams.com Cerpen karya penulis ternama Triyanto Triwikromo ini bercerita tentang salah satu cuplikan kejadian di tahun 1965. Tentang pembantaian para wanita yang dituduh sebagai anggota Gerwani (salah satu gerakan wanita milik PKI) Cerpen ini berkisah dari sudut pandang seorang saksi yang melihat kejadian pembantaian 24 wanita yang dituduh sebagai Gerwani yang juga di sebut sebagai pembantaian di Bukit Mangkang.   Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 17 tahun dan pandanganku—meski terhalang hujan yang turun terus-menerus—masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih bisa memergoki beberapa jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih bisa m

Selamat Tinggal

www.pinterest.com “Jadi kau benar-benar akan meninggalkanku? Kau sungguh tega?” suaramu sungguh terdengar kacau. Hatiku pedih. Rambut hitam lurusmu yang mulai menutupi leher terlihat acak-acakan. Namun, wajahmu masih terlihat tampan, meski sendu memenuhi setiap garis-garis wajahmu. Kauusap wajahmu kemudian memandangku yang terdiam dengan tajam. Aku menunduk, mencoba mengalihkan tatapan elangmu yang kini mungkin terlihat sedikit layu. Aku masih terdiam, sunyi di antara kita. Aku sudah bulat dengan keputusanku ini. Meski aku menyayangimu, sungguh, keputusan ini harus kuambil. Aku mungkin terlihat bodoh, meninggalkan semua kenyamanan ini dengan alasan yang “tidak masuk akal.” Namun, aku adalah aku. Tak akan kuijinkan oranglain mengontrol hidupku seolah-olah tidak bisa hidup tanpanya. “Baiklah, kalau kaumemang sudah memutuskan itu. Aku bisa apa. Meski katamu kau menyayangiku.” Suaranya terdengar parau. Tangan kanannya mengaduk-aduk secawan es campur, menyendoknya perlahan,