![]() |
www.pixabay.com |
Headset hitam menyumpal telingamu.
Kepalamu mengangguk-angguk, mengikuti irama lagu. Namun,
jemari-jemari tanganmu asyik bermain di atas layar gawai. Jika tidak menoleh
pada seorang perempuan yang tidak sengaja duduk di sebelah kursimu, mungkin
kamu masih asyik menekuri gawai, mendengarkan lagu-lagu pop dari aplikasi JOOX
yang ada di sana. Kamu tegakkan kepala, menatap perempuan itu dengan seksama. Perempun
dengan blouse warna biru langit kontras
dengan warna rok yang dipakainya, biru dongker, rambut sebahunya hitam
mengkilat. Kepalanya sedikit tertunduk, menekuri sebuah novel dengan sampul
warna hijau.
Sepertinya perempuan itu merasa
jika sedang kamu amati. Dia pun menatapmu dengan seksama. Kemudian bibirnya
bergerak seperti mengucapkan sepatah kata, menyebut namamu. Dia lalu berjalan
mendekat dan menanyakan kabarmu. Kamu masih terkesima, tidak menyangka
pertemuan itu akan ada. Sekejap memori tentangmu dan tentangnya berkelebat.
“Masih
suka secangkir kopi dengan dua sendok gula?” tanyanya dengan wajah berbinar,
tak ada setitikpun rasa dendam terpancar dari sana. Kamu sedikit kikuk. Ada
rasa bersalah tiba-tiba menyeruak di dalam hatimu. Ah, kamu masih mengingat takaran gula dalam minuman kesukaanku dengan
baik, batinmu berucap diantara gejolak rasa yag tidak bisa dilukiskan.
“Jadi,
mau kutraktir minum kopi?” tanyanya lagi mengejutkanmu. Kamu hanya mengangguk
dan tangannya melambai mengisyaratkanmu untuk mengikutinya. Kamu dan dia duduk
berhadapan di salah satu kafe kecil yang berada di sudut stasiun. Di depanmu
kini terhidang secangkir kopi, tentu dengan dua sendok gula sesuai pesanannya
kepada pelayan. Sedang di depannya segelas susu milo hangat.
“Apa
kabar?” tanyanya memecah kesunyian, di antara sesapan kopi dan susu di
kerongkongan yang mengalirkan rasa hangat.
“Baik. Aku bahagia, meski belum banyak berubah,” jawabmu kikuk. Jemari tangan kananmu
bergantian mengetuk-ngetuk lembut cangkir kopi di dalam pelukan kedua telapak
tanganmu.
“Apa?”
tanyanya menelusuri wajahmu yang tirus.
“Aku
masih mencintai batang 9 senti,” kamu sepertinya ragu mengatakan ini. Ada
semburat malu terpancar di wajahmu.
Dia
hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Candu. Ah biarlah. Ngomong-ngomong
kamu mau ke mana?” tanyanya dengan suara lembut. Masih seperti dulu, dia tidak
berubah. Kelembutan yang selalu membuatmu nyaman. Kamu berusaha keras menepis aliran darah yang
gejolaknya tiba-tiba berubah. Dia kini yang semakin terlihat matang, tenang dan
tetap lembut memberi kenyamanan.
“Aku
ada kerjaan di pusat kota, Kamu sendiri mau kemana?” tanyamu kini penuh dengan
harap bisa kembali berbincang lebih lama dengannya. Tapi kamu merasa bahwa dia
sudah melupakan apa yang terjadi denganmu di masa lalu. Dia yang tetap tenang
berada di depanmu.
“Aku
pulang ke rumahku di pusat kota. Sejak bapak pensiun dari Polri, bapak pindah
ke rumah lamanya di sana. Kamu mau mampir? Ada ibu dan bapak yang kini semakin
menua.” Kamu tersedak mendengar undangannya. Kamu merasa bahwa kamu yang lelaki
harusnya lebih tenang berhadapan dengan dia. Tetapi kenyataannya?
Suara
sirene tanda kereta akan berangkat ke pusat kota terdengar. Kamu dan dia kemudian
beranjak. Takdir masih mempertemukan kamu dan dia, duduk dalam gerbong yang sama
dan kursi yang hanya berseberangan. Namun nyalimu hanya bisa menatap dan
terkenang.
Kereta mulai jalan perlahan keluar
dari stasiun. Kamu tatap pemandangan dari balik jendela kaca yang memantulkan
bayanganmu. Mendung menghitam berarak di atas langit. Rinai hujan mulai
membasahi kaca jendela.
Lima tahun berlalu. Kamu dan dia
kemudian mengerti bahwa saat itu kalian masih terlalu muda. Emosi yang masih labil,
meski seharusnya perpisahan itu tidak harus terjadi. Namun, itu mungkin
keputusan yang tepat. Kamu dan dia memang saling mencinta, tetapi kalian
mempunyai mimpi yang berbeda.
Pertemuan ini bagimu adalah sesuatu yang
menakjubkan, rasanya seperti berteduh di bawah hujan. Seperti saat ini, hujan
yang menembus gerbong kereta, menerjang kaca-kaca jendela. Dan kamu dan dia
sama-sama berteduh di bawah gerbong yang sama.
Sesekali kamu tolehkan pandangan
pada wajahnya yang kini terlelap. Ada hal yang ingin kamu sampaikan padanya sesaat
sebelum berpisah bahwa kamu selalu
berharap yang terbaik untuknya, segala hal di dunia ini dapat memberinya. Dan saat
kamu meninggalkannya (saat kamu dan dia berpisah), tak ada yang perlu
dimaafkannya. Dan kamu selalu berpikir bahwa suatu saat kamu dan dan dia akan
kembali bersama, kemudian kamu berharap dia menceritakan padamu semua yang
telah ditemukannya sepanjang waktu itu. Sedang yang kamu temukan adalah kehancuran
dan kesedihan. Sungguh, kamu merasa sulit untuk mengatakan jika kamu begitu iri
melihatnya bahagia tanpamu. Dan pertemuan kali ini, apakah ini cara Tuhan
mempertemukan kita, dan mungkinkah Ia menyatukan kita kembali?
Kereta melaju cepat, menembus hujan
yang lebat dan gelap yang semakin pekat. (end)
#Terinspirasi lagu Ayamadori oleh
Mayumi Itsuwa dan Jealous oleh Labrinth (Paragraf terakhir dalam tulisan miring
adalah arti dari salah satu lirik lagunya dengan sedikit perubahan.
#ODOP3Chalenge
Comments
Post a Comment